Liputan6.com, Jakarta - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam serangan digital, yang ditujukan kepada website Project Multatuli. Situs media Project Multatuli terindikasi mengalami insiden serangan digital setelah merilis laporan kekerasan seksual yang dialami dua korban anak di kabupaten Baubau, Sulawesi Tenggara.
Laporan itu berjudul 'Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya'. Laporan tersebut diterbitkan pada 11 Maret 2023 di website tersebut.
Koordinator KKJ Erick Tanjung menyebut, serangan digital terhadap Project Multatuli ini juga sudah mengancam kebebasan pers.
Advertisement
"Serangan ini merupakan upaya membungkam kritik kepada berbagai pihak yang dikritisi, serta mencederai kebebasan pers," ujar Erick dalam keterangannya, Jumat (17/3/2023).
Erick mengatakan, dugaan adanya serangan digital lantaran tim IT Project Multatuli mendeteksi adanya kenaikan aktivitas yang tidak wajar pada website mereka, sejak Selasa, 14 Maret 2023, sekitar pukul 09.00 WIB. Serangan berupa proses pemetaan celah, pada situs yang berdampak pada kenaikan beban server.
Kemudian pada pukul 15.00 WIB, mulai terjadi serangan dengan metode HTTP Flood menggunakan bot di berbagai tempat, yang sulit dibedakan dari lalu lintas normal di web.
"Serangan ini kemudian berlanjut hingga Rabu, 15 Maret 2023. Sejak pukul 09.00 sampai 21.00 WIB, terjadi lonjakan aktivitas dan permintaan akses yang membebani server, sehingga website Project Multatuli sulit diakses, dan tidak dapat dibuka oleh pembacanya," kata dia.
Selain itu, tim IT Project Multatuli juga mengidentifikasi adanya ancaman data scraping, yang bertujuan untuk mencari celah di website untuk disusupi. Serta adanya serangan lain berupa payload attack.
Pernah Alami Serang Digital
Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani menjelaskan, website Project Multatuli juga pernah mengalami serangan digital pada 6 Oktober 2021, tidak lama setelah menerbitkan laporan terkait kekerasan seksual pada anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
KKJ melihat serangan digital yang ditujukan kepada media, sebagai respons dari pemberitaan yang kritis, semakin marak terjadi. Hal ini merupakan bentuk dari upaya membungkam kritik, menghalangi kerja jurnalistik, serta mengancam demokrasi dan kebebasan pers, yang dijamin kemerdekaannya dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Lebih lanjut, Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan, sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Erick menyebut, berdasarkan catatan KKJ, serangan-serangan digital selalu terjadi saat jurnalis atau media menunjukkan sikap kritis terhadap tindakan atau kebijakan yang berpihak pada beberapa pihak yang berkuasa.
"Jika hal ini terus dibiarkan, serangan seperti ini tentu saja akan membuat jurnalis ataupun media akan berpikir berulang kali, menerbitkan laporan yang kritis atau sensitif," kata Erick.
Advertisement
Dinilai Bisa Kurangi Akses Masyarakat Terhadap Informasi
Selain itu, menurut Erick, serangan terhadap media juga akan mengurangi akses masyarakat terhadap informasi yang penting, dalam meminta akuntabilitas terhadap pihak yang berkuasa. Padahal, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi, sudah dijamin dan dilindungi berbagai instrumen hukum.
Secara internasional, menurut Erick, hak kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin pada pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Untuk itu Komite Keselamatan Jurnalis mendesak pemerintah secara terbuka menyatakan dan mengakui bahwa serangan, ancaman, pelecehan, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil, termasuk jurnalis dan kantor media, merupakan pelanggaran HAM yang serius," kata Erick.
Selain itu, Erick menyebut KPK juga menuntut aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, secara menyeluruh dan independen terhadap kasus serangan digital serta menghukum pelaku dengan seadil-adilnya.
"Meminta kepada semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Jika ada pihak yang keberatan atas sebuah karya jurnalistik, dapat mengirimkan hak jawab ke media tersebut, atau bisa melapor ke Dewan Pers. Peraturan ini diatur dalam dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999," kata Erick.